Kantor Pusat :
Perumahan Shangrila Unit I No. 75 - Petukangan Selatan - Jakarta Selatan
Melalui ibadah haji kaum Muslimin secara sadar atau tidak sadar mengakui pentingnya petunjuk Nabi Muhammad SAW serta keharusan untuk berpegang dengannya dalam segala amalan haji.
Hal ini terlihat jelas dari semangat mereka menghadiri majelis-majelis ilmu untuk mempelajari sifat haji, tata caranya, rukunnya, kewajibannya, dan hal-hal yang membatalkannya, dengan penuh perhatian dan sikap hati-hati.
H Muhammad Lathif, Lc, menegaskan, apabila seorang Muslim konsisten dengan sunnah Nabi Muhammad SAW dalam berhaji, maka dalam syariat yang lain sudah semestinya diberlakukan hal yang sama. Karena kesemuanya datang dari satu sumber yang tidak berbeda.
“Sebagaimana setiap orang dalam hajinya harus mengikuti manasik beliau, maka demikian pula keharusan bagi setiap orang untuk mengikuti petunjuknya dalam seluruh bentuk ketaatan,” tulis H Muhammad dalam bukunya Haji dan Cinta Rasulullah.
Kedudukan cinta Rasulullah, sesungguhnya termasuk dari kebahagiaan seorang hamba adalah di saat Allah menganugerahkan padanya kecintaan terhadap kekasihNya yang mulia SAW. Bagaimana tidak, kecintaan pada beliau adalah termasuk dari syarat keimanan.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda:
فَوَ الَذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِن وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih dia cintai melebihi (kecintaannya) kepada ayah dan anaknya.” (HR Bukhari)
Cinta pada beliau SAW juga termasuk faktor utama dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu kecintaan pada beliau adalah salah satu sebab untuk mendapatkan lezatnya keimanan. Nabi Muhammad SAW bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barang siapa yang ketiga perkara tersebut terdapat pada dirinya, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman; yaitu ketika Allah dan rasulNya lebih ia cintai dari selain keduanya, dan saat dia mencintai seseorang tidak lain kecuali karena Allah, serta dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah dia diselamatkan Allah, sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam api.” (HR Bukhari dan Muslim).
Makna kelezatan iman, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath Al-Bari, adalah “Merasakan kelezatan dalam ketaatan, tabah menanggung beban dalam menjalankan agama, dan lebih memprioritaskannya daripada kepentingan duniawi.” Kecintaan pada beliau merupakan sebab untuk dapat menemani beliau di surga yang penuh kenikmatan.
Abdullah bin Masud RA meriwayatkan, bahwa ada seseorang datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Apa pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum akan tetapi belum menjumpai mereka?” Maka Rasulullah SAW bersabda:
المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ “Seseorang itu di surga akan bersama dengan orang yang dicintainya.” (HR Bukhari dan Muslim).